Selasa, 09 Desember 2008

Hadits : 3 perkara yang akan merasakan manisnya iman


Hadits

merasakan manisnya iman

Muhammad bin al-Mutsanna menceritakan kepada kami,
Abdul Wahhab ats-Tsaqafi menceritakan kepada kami, Ayyub menceritakan
kepada kami dari Abu Qilabah dari Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda, “Terdapat tiga perkara, siapa saja yang ketiga
perkara itu terdapat pada dirinya, niscaya ia akan merasakan manisnya
iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya;
tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah; dan benci kembali
kepada kekufuran sebagaimana ia benci jika dilemparkan ke dalam
Neraka.” (HR. al-Bukhari, no. 16.)

Rawi

Muhammad bin al-Mutsanna adalah Abu Musa al-‘Anzi. Abdul Wahhab adalah
Ibnu Abdul Majid. Ayyub adalah Ibnu Abu Tamimah as-Sakhtiyani.

Hadits ini dicantumkan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari, vol. I hal. 82, no. 16. Hadits yang serupa dengan ini juga terdapat di no. 6041 dan 6941 dalam Shahih al-Bukhari.

Syarh

=
Manisnya iman, ini adalah ungkapan perumpaan untuk memudahkan dalam
memahami maksud dari hadits. Sebagai sarana untuk mengajak orang agar
menyukai ‘iman’, maka diungkapkan bahwa iman itu memiliki rasa, yaitu
‘manis’. Ungkapan ini akan semakin mengukuhkan bahwa iman itu kadang
bertambah, dan tidak jarang berkurang. Jika iman terasa manis, berarti
grafik iman sedang naik. Jika iman terasa sebaliknya, ‘pahit’, berarti
iman sedang melewati turunan.
Untuk lebih mudahnya, hal ini dapat
dianalogikan dengan kondisi orang sehat dan orang sakit. Sebuah rasa
yang sama akan terasa berbeda di indera perasa masing-masing dari
mereka. Misalnya, orang yang sedang mengidap sakit penyakit tertentu
akan mengatakan bahwa madu itu pahit, padahal orang yang kondisi
tubuhnya sehat akan mengatakan bahwa madu sesuai dengan rasa aslinya,
yaitu manis. Maknanya, jika kadar kesehatan seseorang berkurang, maka
kepekaannya terhadap suatu rasa juga akan berkurang dari rasa aslinya.


= Lebih ia cintai. Al-Baidhawi mengungkapkan, bahwa cinta yang dimaksud
dalam hadits ini adalah cinta yang bersifat ‘aqli (logis). Yaitu,
mendahulukan ‘rasa’ yang dirasakan oleh akal sehat walaupun hawa nafsu
merasakan ‘rasa’ yang sebaliknya. Seperti orang sakit yang enggan untuk
meng-konsumsi obat karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya, akan
tetapi ia tetap menelannya juga karena akal berkata bahwa itu adalah
obat yang akan membawa kepada ‘lezat’nya kesembuhan.

Jika seseorang menggunakan akal sehatnya untuk mencermati bahwa dalam
setiap perintah dan larangan Allah dan Rasul pasti terdapat mashlahat,
niscaya ia akan tetap melaksanakan perintah dan menjauhi larangan
tersebut meskipun hawa nafsunya menolak.

Pada intinya, hadits ini menegaskan dengan tiga hal tersebut
kesempurnaan iman seseorang. Jika seseorang menyakini bahwa
satu-satunya yang memberikan rizki hanyalah Allah, pada hakikatnya
segala karunia hanyalah dari Allah semata, sedangkan yang lain hanyalah
sebagai perantara saja; lalu dia juga yakin bahwa Rasulullah adalah
manusia yang diberi wewenang penuh untuk menjelaskan segala kemauan
Allah kepada manusia yang lain, maka dengan demikian dia tidak akan
mencintai kecuali sesuatu yang dicintai oleh Keduanya [Allah dan
Rasul], dan dia tidak akan mencintai orang lain kecuali jika orang lain itu juga mencintai Keduanya. Dengan kata lain, dia akan membenci orang-orang yang tidak mencintai Keduanya.

Lalu, jika ia yakin dengan sebenar-benarnya akan semua janji dan
ancaman Allah dan Rasul pasti berlaku, baik sekarang atau akan datang,
niscaya akan terbayang di hatinya bahwa tempat kembalinya kelak adalah
taman Jannah jika ia taat, kubangan Neraka jika ia ingkar.

Wallahu a’lam (iBRaHim)

http://docs.google.com/Doc?id=ddmdm9gx_76cx9bznhq

0 komentar:

 
.