Kamis, 07 Agustus 2008

Hadits : "Tunjukkanlah padaku amalan yang setara dengan jihad?"


“Ishaq telah menceritakan kepada kami, ‘Affan telah memberitahukan kepada kami, Hamam telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Juhadah telah menceritakan kepada kami seraya berkata, ‘Abu Hushain telah memberitahukan kepada saya bahwasanya Dzakwan pernah diceritakan oleh Abu Hurairah, ia berkata: ‘Seseorang datang kepada Rasulullah seraya bertanya, ‘Tunjukkanlah padaku amalan yang setara dengan jihad?’ Rasulullah menjawab, ‘Saya tidak menemukannya.’ Lalu beliau melanjutkan sabdanya, ‘Jika seorang mujahid pergi berperang, sanggupkah engkau masuk masjidmu lalu shalat dan tidak merasa bosan (tidak berhenti shalat), berpuasa dan tidak berbuka?’ Lelaki itu menjawab, ‘Siapakah yang mampu melakukannya?!’ (HR. al-Bukhari, dalam shahihnya, kitaab al-Jihaad wa as-Sair, baab Fadhl al-Jihaad wa as-Sair, hadits no. 2785)

Rawi

Ibnu Hajar mengungkapkan, Ishaq: Seperti inilah yang banyak diriwayatkan, Ishaq tidak dinasabkan kepada siapapun. Dalam hadits yang berasal dari al-Ashili dan Ibnu ‘Asakir tertulis ‘Ishaq bin Manshur’. Abu ‘Ali al-Jiyani berkata, ‘Saya tidak dapat memastikan kepada siapa dia dinasabkan, bisa saja kepada Ibnu Rahawaih atau Ibnu Manshur. Sedangkan tentang lelaki yang datang kepada Rasulullah itu, Ibnu Hajar tidak begitu mengenal namanya.

Sisa rawi yang lain tidak disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam pembahasan hadits ini, bisa jadi telah diterangkan dalam hadits-hadits lain sebelum ini.

Syarh

Saya tidak menemukannya,” ini adalah jawaban Rasulullah. Kemudian ucapan “Sanggupkah Engkau?”, adalah keterangan lanjutan dari Rasulullah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim melalui jalur Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dengan lafadh, “Seseorang bertanya, ‘Apakah yang dapat menandingi jihad?’. Rasulullah menjawab, ‘Engkau tidak akan sanggup mengamalkannya.’ Orang yang bertanya itu terus mengulang-ulang pertanyaanya sampai dua-tiga kali, namun selalu saja Rasulullah menjawab, ‘Engkau tidak akan sanggup mengamalkannya.’ Lalu pada yang ketiga kalinya, Rasulullah meneruskan ucapannya, ‘Permisalan jihad fii sabiilillah itu bagaikan…’ al-Hadits.

Ath-Thabrani juga meriwayatkan hadits yang serupa dengan ini, melalui jalur Sahl bin Mu’adz bin Anas dari ayahnya; di akhir hadits itu ada tambahan, “Amalan itu belum sepadan dengan sepersepuluh (10%) amalan jihad.”

Perkataan, “Siapakah yang mampu melakukannya?!”. Dalam riwayat Abu Bakar bin Abu Syaibah dari Sufyan disebutkan, ‘Lelaki itu menjawab, ‘Saya tidak sanggup melaksanakannya.’ Ini adalah keistimewaan amat nyata yang dimiliki oleh seorang mujahid fii sabiilillah, yaitu tiada satu pun amalan yang dapat mendingi jihad fii sabiilillah. Sedangkan hadits terdahulu yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas secara marfu’ dalam kitab ‘Idain, “Tiada amalan yang lebih afdhal untuk dikerjakan pada hari-hari ini selain amalan itu (udhhiyah)[yaitu pada hari tasyriq]. Mereka bertanya, ‘Tidak juga jihad di jalan Allah?’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak juga jihad di jalan Allah.”

Hal ini bisa saja menunjukkan bahwa hadits yang masih bermakna umum dalam bab ini di-khusus-kan oleh hadits Ibnu ‘Abbas yang baru saja disebutkan. Atau bisa jadi pula, keistimewaan seorang mujahid yang disebutkan dalam hadits di atas hanya dikhususkan buat mereka yang keluar berperang dengan membawa jiwa dan hartanya, kemudian ia memperoleh sesuatu seperti yang disebutkan di penghujung hadits Ibnu ‘Abbas, “Lalu ia keluar berperang dengan membawa jiwa dan hartanya, kemudian ia tidak kembali dengan membawa keduanya[gugur].” Mafhum-nya adalah, mujahid yang membawa pulang kembali salah satu dari keduanya [jiwa atau hartanya] tidak mendapatkan keistimewaan seperti yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah ini.

Akan tetapi, pemahaman seperti ini akan sedikit bermasalah jika dihadapkan pada hadits, “Perumpamaan mujahid fii sabiilillah [Allah lebih mengetahui siapa yang benar-benar berjihad di jalan-Nya] bagaikan orang yang berpuasa dan shalat malam terus-menerus sepanjang hari. Allah menjanjikan bagi seorang mujahid fii sabiilillah: jika ia gugur, maka akan dimasukkan ke dalam Jannah, atau jika ia selamat, maka akan pulang membawa pahala dan ghanimah.” (HR. al-Bukhari, dalam shahihnya, kitaab al-Jihaad wa as-Sair, baab Afadhal an-Naas Mu’min Mujahid bi Nafsihi wa Malihi Fii Sabiilillah, hadits no. 2787).

Jadi, untuk menjawab masalah ini, dapat dikatakan: bahwa keistimewaan tersebut akan didapatkan pertama kali oleh seorang mujahid yang tidak kembali dari medan peperangan [gugur], dan tidak berarti mujahid yang kembali dengan selamat tidak akan mendapatkan keistimewaan itu.

Masalah ini akan semakin rumit jika dihadapkan pada hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad yang di-shahihkan oleh al-Hakim, yaitu hadits yang berasal dari Abu Darda’ secara marfu’, “Maukah saya beritahukan amalan Kalian yang paling baik, paling suci di hadapan Raja Kalian, paling mengangkat derajat Kalian, bahkan lebih baik bagi Kalian daripada berinfak dengan emas atau kertas, serta lebih baik bagi Kalian daripada ketika Kalian bertemu dengan musuh, lalu Kalian memukul leher [memenggal] mereka dan mereka pun memukul leher Kalian?” Mereka menjawab, “Kami bersedia, Wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Yaitu dzikrullah.” Hadits ini secara terang-terangan menyatakan bahwa dzikir itu sendiri lebih afdhal daripada apa yang didapatkan oleh seorang mujahid, dan lebih afdhal daripada infak dengan segala manfaat yang terdapat dalam jihad dan infak.

‘Iyadh berkata, “Bisa jadi hadits dalam bab ini menunjukkan tentang keagungan jihad, karena shiyam dan yang lain di antara amalan-amalan utama yang lain, semuanya dapat ditandingi oleh jihad. Bahkan, segala kondisi seorang mujahid yang bersifat mubah setara dengan shalat sungguh-sungguh orang yang tidak berjihad, atau amalan lain orang yang tidak ikut berjihad. Maka dari itu, Rasulullah bersabda, ‘Engkau tidak akan sanggup.’ Ini menunjukkan bahwa semua fadhilah itu tidak dapat menandingi jihad, karena hal itu adalah kebaikan yang diberikan Allah hanya kepada siapa yang dikehendakinya saja.” ‘Iyadh menjadikan hadits Abu Hurairah ini sebagai dalil yang menyatakan bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhal, secara mutlak.

Ibnu Daqiq al-‘Ied berkata, “Perbandingan ini menghasilkan bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhal. Karena jihad adalah wasilah [fasilitator] untuk menampakkan dan menyebarkan din, serta sarana untuk menenggelamkan kekufuran dan menghambat pertumbuhnya. Fadhilah jihad berbanding lurus dengan fungsinya sebagai wasilah itu. (Ibrahim)

Wallahu a’lam.

[Fath al-Baari, vol. 06, hal. 4-7]

0 komentar:

 
.