Bagi kelompok pertama -bila terbagi lebih dari satu kelompok-, jika secara lahir dan jelas bagi para makmum harus melakukan sujud sahwi seperti karena kelebihan atau kekurangan maka mereka bersujud bersama sujud sahwi imam setelah menyempurnakan shalat mereka.
Namun bila keharusan sujud sahwi samar tidak jelas seperti tidak bertasbih ketika rukuk maka imam harus memberikan isyarat dengan sesuatu yang bisa dipahami makmum bahwa ia lupa dan harus sujud sahwi.
Bagi kelompok kedua, mereka harus bersujud sahwi baik karena imam lupa ketika bersama kelompok tersebut atau kelompok pertama.
# Bila para mujahid sedang memulai shalat—dalam keadaan aman—lalu keadaan menjadi genting yang diberitahukan dengan peluit peringatan atau sarana peringatan lainnya, mereka boleh menghentikan shalat dan menundanya hingga keadaan aman kembali atau melaksanakannya dengan cara shalat khauf bila dikhawatirkan waktu shalat habis.
Cara shalat mujahid ketika berlumur darah
Bila darah itu mengalir dari tubuhnya—selain kemaluan dan dubur—wudhunya tidak batal dan shalatnya tetap sah. Demikian pendapat madzhab Maliki, Syafi'i, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hazm.
Dalil yang mereka kemukakan adalah:
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ فِى غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ فَرُمِيَ رَجُلٌ بِسَهْمٍ، فَنَزَفَهُ الدَّمُ فَرَكَعَ وَسَجَدَ، وَمَضَى فِي صَلاَتِه
Dari Jabir, bahwa pada saat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam peperangan Dzâtur Riqâ' ada seseorang yang terkena lemparan panah sehingga mengucurkan darahnya. Namun ia tetap ruku' dan sujud meneruskan shalatnya. (HR Bukhari no. 34)
Ketika kaum muslimin sedang berperang, mereka melaksanakan shalat dengan luka yang masih mengucurkan darah. Dan tidak ada satu hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah r memerintahkan mereka untuk mencucinya.
Dan bila lumuran darah itu berasal dari selain tubuhnya, seperti lumuran darah dari senjata yang ia pegang atau dari korban terluka yang ia tolong, shalatnya tetap sah karena itu semua bagian dari udzur yang tak terhindari dan mesti terjadi pada mujahid. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama.
# Seorang mujahid boleh shalat dengan menyandang senjatanya, dengan asumsi bahwa musuh akan menyerang para mujahid yang sedang shalat. Sebagaimana firman Allah, "…maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata…"(An-Nisâ': 102)
# Seorang mujahid tidak boleh menyandang senjata yang terkena najis ketika melaksanakan shalat khauf, kecuali pada keadaan yang mendesak. Ia boleh menyandangnya dan tidak perlu mengulangi shalatnya karena ia telah melaksanakan shalat pada waktunya sesuai dengan kemampuannya.
# Ketika shalat khauf sedang dilaksanakan lalu keadaan menjadi aman, mereka menyempurnakannya dengan shalat dalam keadaan aman, melanjutkan shalat khauf yang sedang dilaksanakan tanpa memulainya kembali dari awal.
# Bila para mujahid telah melaksanakan shalat khauf karena mereka menyangka ada musuh yang datang tapi ternyata itu bukan musuh maka mereka tidak perlu mengulang shalatnya. Karena Allah telah membolehkan shalat khauf ketika meresa takut. (Lukman)
Namun bila keharusan sujud sahwi samar tidak jelas seperti tidak bertasbih ketika rukuk maka imam harus memberikan isyarat dengan sesuatu yang bisa dipahami makmum bahwa ia lupa dan harus sujud sahwi.
Bagi kelompok kedua, mereka harus bersujud sahwi baik karena imam lupa ketika bersama kelompok tersebut atau kelompok pertama.
# Bila para mujahid sedang memulai shalat—dalam keadaan aman—lalu keadaan menjadi genting yang diberitahukan dengan peluit peringatan atau sarana peringatan lainnya, mereka boleh menghentikan shalat dan menundanya hingga keadaan aman kembali atau melaksanakannya dengan cara shalat khauf bila dikhawatirkan waktu shalat habis.
Cara shalat mujahid ketika berlumur darah
Bila darah itu mengalir dari tubuhnya—selain kemaluan dan dubur—wudhunya tidak batal dan shalatnya tetap sah. Demikian pendapat madzhab Maliki, Syafi'i, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hazm.
Dalil yang mereka kemukakan adalah:
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ فِى غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ فَرُمِيَ رَجُلٌ بِسَهْمٍ، فَنَزَفَهُ الدَّمُ فَرَكَعَ وَسَجَدَ، وَمَضَى فِي صَلاَتِه
Dari Jabir, bahwa pada saat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam peperangan Dzâtur Riqâ' ada seseorang yang terkena lemparan panah sehingga mengucurkan darahnya. Namun ia tetap ruku' dan sujud meneruskan shalatnya. (HR Bukhari no. 34)
Ketika kaum muslimin sedang berperang, mereka melaksanakan shalat dengan luka yang masih mengucurkan darah. Dan tidak ada satu hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah r memerintahkan mereka untuk mencucinya.
Dan bila lumuran darah itu berasal dari selain tubuhnya, seperti lumuran darah dari senjata yang ia pegang atau dari korban terluka yang ia tolong, shalatnya tetap sah karena itu semua bagian dari udzur yang tak terhindari dan mesti terjadi pada mujahid. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama.
# Seorang mujahid boleh shalat dengan menyandang senjatanya, dengan asumsi bahwa musuh akan menyerang para mujahid yang sedang shalat. Sebagaimana firman Allah, "…maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata…"(An-Nisâ': 102)
# Seorang mujahid tidak boleh menyandang senjata yang terkena najis ketika melaksanakan shalat khauf, kecuali pada keadaan yang mendesak. Ia boleh menyandangnya dan tidak perlu mengulangi shalatnya karena ia telah melaksanakan shalat pada waktunya sesuai dengan kemampuannya.
# Ketika shalat khauf sedang dilaksanakan lalu keadaan menjadi aman, mereka menyempurnakannya dengan shalat dalam keadaan aman, melanjutkan shalat khauf yang sedang dilaksanakan tanpa memulainya kembali dari awal.
# Bila para mujahid telah melaksanakan shalat khauf karena mereka menyangka ada musuh yang datang tapi ternyata itu bukan musuh maka mereka tidak perlu mengulang shalatnya. Karena Allah telah membolehkan shalat khauf ketika meresa takut. (Lukman)
0 komentar:
Posting Komentar