Minggu, 13 Juli 2008

Menyingkap Tabir Kemunafikan - bagian 2, Edisi ke-7, Brain-news.blogpot.com


وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لأعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ
“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu." (QS. At Taubah:46)
Subhanallah walhamdulillah telah sempurna wahyu yang Allah turunkan kepada Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasalam, sehingga malam seperti siang, terpisahnya antara haq dengan kebatilan serta ditampakannya orang-orang munafik dari orang mukmin, sehingga tidak ada tempat bagi kaum munafik untuk bersembunyi dari kebenarannya, tidak ada alasan kefasikan mereka kecuali Allah Ta'ala jelaskan dan tidak ada kekhawatiran mereka kecuali Allah Ta'ala kabarkan, walillahilhamdu.
Ketika turun Ayat-ayat yang berisi perintah untuk berjihad dan berinfaq di jalan Allah Ta'ala tampaklah orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit dan keraguan, terbuktilah keimanan seseorang dan tersingkaplah tabir kemunafikan yang ditutup keimanan. Surat At Taubah di atas menjelaskan sikap asli kaum munafik ketika sampai ke telinga mereka perintah untuk membela Allah Ta'ala dengan Jihad di jalan-Nya, mungkin diantara mereka masih sempat memberikan dorongan atau menyatakan kesiapannya untuk berjihad tapi sungguh sangat jelas ketika perkataannya tidak sesuai dengan perbuatannya, karena sesungguhnyaorang yang selalu mengumandangkan jihad dan dia jujur maka akan sangat terlihat kejujuran jihadnya dengan amalan harian yang dikerjakannya, baik di saat kuat atau lemah, ketika kuat dia akan selalu berjihad dan ketika lemah akan selalu beri'dad untuk menjemputnya, sedangkan kaum munafik tersingkap ketika mereka meninggalkan baik jihad itu sendiri bahkan mereka enggan untuk beri'dad dalam rangka jihad.
Khitob Ayat
Khitob ayat di atas dikatakan oleh Imam At Thobary, mereka adalah orang yang sebelumnya minta izin kepada Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak ikut berjihad yaitu kaum munafik dengan alasan yang dibuat-buat padahal mereka tidak termasuk ashabul a'dar (orang yang mendapatkan rukhsah -keringanan- untuk tidak berjihad) sehingga tampaklah kemunafikan mereka.
Aqwal mufassir
Imam At thobary menjelaskan ayat di atas, “Kalau seandainya mereka yang minta izin kepadamu (wahai Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam) untuk tidak berjihad, menginginkan untuk berjihad bersamamu memerangi musuh yang menyerangmu, pasti mereka akan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan (‘uddah) untuk berjihad itu, dan memgumpulkan bekal untuk perjalannannya padahal musuh adalah orang yang paling mempersiapkan keduanya, tetapi Allah Ta'ala tidak menghendaki keluarnya mereka sehingga mereka menjadi berat untuk keluar dan lebih menyukai duduk tinggal di tempat tinggal mereka, tidak ikut bersamamu dan mereka merasa berat untuk bersafar bersamamu maka jadilah mereka tidak ikut bersamamu. Maka katakanlah kepada mereka duduklah bersama orang yang sakit, orang lemah, orang fakir yang tidak mempunyai apapun yang bisa diinfakan, wanita dan anak-anak, maka tinggalkanlah keluar bersama Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam dan mujahidin di jalan Allah Ta'ala. Adapun ketidak sukaan Allah Ta'ala dengan keluarnya mereka bersama Rasulullah dan kaum mukmin karena Allah Ta'ala mengetahui kemunafikan mereka dan kedengkian mereka terhadap Islam dan kaum muslimin, kalau seandainya mereka keluar niscaya akan mendatangkan madharat (bahaya) dan tidak membawa manfaat sedikitpun, kemudian Allah Ta'ala teruskan dengan ayat selanjutnya.
لَوْ خَرَجُوا فِيكُمْ مَا زَادُوكُمْ إِلا خَبَالا وَلأوْضَعُوا خِلالَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ (٤٧)
Artinya: “Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.” (At Taubah:47)
Imam Al qurthuby Menjelaskan, "Kalau seandainya mereka menginginkan berjihad tentu mereka beri'dad (mempersiapkan perbekalan untuk perjalanan jihad) tetapai mereka meninggalkan I'dad itu, dan itu adalah bukti kalau mereka menginginkan tidak ikut berjihad, akan tetapi Allah Ta'ala tidak menyukai keluarnya mereka dan menahan mereka untuk tidak ikut bersamamu serta membiarkannya, karena mereka Berkata, “Kalau kami tidak diizinkan untuk tidak ikut maka kami akan membuat kerusakan dan mengganggu kaum mukmin.” Maka Allah Ta'ala lanjutkan dengan ayat seterusnya, dan dikatakan kepada kepada mereka, duduklah bersama orang yang duduk. Diantara ahli tafsir ada yang mengatakan ini adalah perkataan sebagian mereka kepada temannya ada yang mengatakan ini adalah perkataan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam sebagai bentuk kemarahannya, kemudian mereka kaum munafik memahami seakan-akan Nabi mengizinkan mereka untuk tidak ikut berjihad, ada juga yang mengatakan inilah bentuk Allah Ta'ala membiarkan mereka dalam arti Allah tanamkan dalam hati mereka kecintaan untuk duduk bersama ashabul a'dar yaitu; orang buta, orang lemah dari wanita dan anak-anak.”
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Kalau seandainya mereka menginginkan keluar untuk berperang bersama Nabi niscaya mereka akan mempersiapkan untuknya, akan tetapi Allah membenci keluarnya mereka bersama nabi secara takdir, maka Allah Ta'ala meninggalkan mereka dan dikatakan kepada mereka, Duduklah bersama orang yang duduk. Kemudian Allah Ta'ala jelaskan alasan ketidaksukan-Nya mereka keluar bersama orang mukim dengan ayat selanjutnya.
Renungan
Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Dari Uqbah bin Amir radliyallahu ‘anhu beliau Berkata: bersabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, “Sesungguhnya yang aku takutkan menimpa umatku adalah Al Kitab (Al Qur’an) dan Susu, Nabi ditanya kenapa Wahai Rasulullah dengan Al Kitab? Rasulullah menjawab: Al Kitab dipelajari orang-orang munafik kemudian dipakai mendebat orang-orang yang beriman.” Kemudian ada apa dengan susu? Nabi menjawab, “Manusia menyukai susu sehingga mereka keluar dari jamaah untuk mencarinya dan mereka akan berani meninggalkan Ibadah jum'ah.” (HR. Ahmad).
Sesuatu yang dikhawatirkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, telah menimpa umat dimana Al Qur'an banyak dipelajari manusia tetapi mereka gunakan untuk menyalahkan dan mendebat orang-orang yang beriman, sebagai contoh orang munafik dan kafir menuduh para mujahid sebagi pembuat kerusakan di muka bumi, sehingga mereka sangat mengutuk dan berusaha memalingkan makna jihad dengan makna yang tidak semestinya, padahal Al Qur'an ada di tangan mereka, sehingga wajar seruan singkat Abu Mus'ab Az Zarqowi Rahimahullah, “Aina Ashabul Anfal Wataubah." (Apakah kita pemilik surat Al Anfal dan surat At Taubah?) Karena yang menolak jihad ini bukan hanya dari orang orang kafir tetapi dari kaum munafik, akan tetapi Allah berfirman:
كَتَبَ اللَّهُ لأغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ (٢١)
Allah telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al Mujadilah :21)
Sehingga dengan ayat ini Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam terobati ketika menyaksikan sikap orang-orang munafik yang tidak segan-segan berbuat di hadapan baginda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.
Ibroh
Orang munafik akan terlihat ketika sampai kepada mereka ayat-ayat jihad, dengan sikap yang dikabarkan Allah Ta’ala dalam Al Qur'an, diantaranya:
· Mereka akan minta izin untuk tidak berangkat berjihad dengan membawa aneka ragam alasan.
· Mereka akan mendukung orang mukmin jika orang yang beriman mendapat kemenangan dan akan menyalahkan orang yang beriman jika kemenangan dipihak kafir.
· Mereka tidak akan mempersiapkan diri untuk berjihad atau mereka meninggalkan I'dad untuk berjihad.
· Mereka tidak akan mengeluarkan hartanya untuk berjihad kecuali dibarengi dengan riya’.
· Apabila mereka diizinkan Allah Ta'ala ikut berjihad bersama orang beriman pasti mereka membuat kerusakan; mencuri ghonimah dan berjihad dengan niat ingin dikatakan pemberani. (Nuh)
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُبِكَ مِنْ خُشُوْعِ النِّفَاقِ
“Ya Allah kami berlindung dari kemunafikan yang khusu’.”


Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin al-Mubarak, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamzah, ia berkata: Telah menceritakan kepada saya Yazid bin Abu Maryam, telah mengkhabarkan kepada kami Ubabah bin Rifa’ah bin Rafi’ bin Khadij, ia berkata: telah mengkhabarkan kepada saya Abu Abas, dia adalah Abdurrahman bin Jabr, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (Tidaklah berdebu kedua telapak kaki seorang hamba di jalan Allah lalu disentuh oleh Neraka)
HADITS
حَدَثَنَا إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُبَارَكُ حَدَثَنَا يَحْيَى بْنِ حَمْزَةَ قَالَ: حَدَثَنِيْ يَزِيْدُ بْنُ أَبِيْ مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا عُبَابَاةَ بْنِ رِفَاعَةُ بْنُ رَافِعُ بْنِ خَدِيْجُ قَالَ: أَخْبَرَنِيْ أَبُوْ عَبَسِ هُوَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ جَبَرِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (مَاغَبَرَتَا قَدَمَا عَبْدٍ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَتَمَسَّهُ النَّارُ)




Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya, bab ke-16 (siapa yang berdebu kedua telapak kakinya di jalan Allah), no 2811.
Tentang Rawi
Ishaq. Abu Ali al-Jiyani berkata, nasab Ishaq yang sebenarnya adalah Ishaq bin Manshur. Ibnu Hajar berkata: al-Isma’ili meriwayatkan dari jalan Ishaq bin Zaid al-Khaththabi (penduduk Heron) dari Muhammad bin al-Mubarak hadits yang serupa dengan hadits terdahulu, namun di penghujung riwayat ini ada tambahan: (lalu kedua telapak kaki itu disentuh oleh Neraka selama-lamanya).
Secara dhahir, Ishaq adalah putra Manshur. Hal ini diperkuat lagi dengan jalur riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim yang meriwayatkan dari jalan al-Hasan bin Sufyan dari Ishaq bin Manshur.
Abdurrahman bin Jabr (dalam naskah asli al-Bukhari, tertulis ‘Jabir’) adalah Ibnu Zaid bin Jasym al-Anshari, salah seorang Shahabat Rasulullah yang turut serta dalam perang Badar dan Uhud. Nama aslinya adalah Abdullah. Yang lain mengatakan, namanya adalah Ma’bad (dalam at-Taqrib). Beliau wafat pada tahun 34 Hijriyah, pada usia 70 tahun. Hadits-haditsnya ditakhrij oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i.
Hadits ini memiliki banyak syawahid [hadits-hadits yang serupa dengan beberapa perbedaan redaksional]. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari Abu Darda’ secara marfu’, “Tidaklah berdebu kedua telapak kaki [mujahid] di jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkan Neraka darinya sejauh seribu [1000] tahun perjalanan dengan kendaraan paling cepat.” Ahmad menambahkan sebuah riwayat yang berasal dari Abu Hurairah: [ ساعة من نهار]- bebarapa saat pada waktu siang.
Ibnu Hibban juga menyebutkan hadits yang serupa dengan hadits ini dari jalur Jabir yang mendengar Rasulullah bersabda di tengah-tengah sebuah peperangan. Jabir berkata, “Lalu orang-orang turun dari kendaraan mereka masing-masing. Tidak pernah terjadi orang berjalan kaki [ketika berperang] dengan jumlah sebanyak itu kecuali hanya pada hari tersebut.” Yaitu, pada hari Rasulullah menyampaikan wahyu ini.
At-Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dalam sunannya, bab jihad. Ia menyatakan bahwa hadits ini hasan shahih. An-Nasa’I juga mencantumkan dalam nbab jihad di sunannya.
Makna Hadits
Dalam riwayat al-Mustaslimi disebutkan ungkapan ‘kedua kaki yang berdebu’ dengan menggunakan bentuk tatsniyah-مااغبرتا (penggunaan dhamir [kata ganti] untuk muanats yang menunjukkan pelaku [subjek] dua). Dalam riwayat lain disebutkan dengan dhamir tunggal- مااغبرت, inilah yang benar.
Secara keseluruhan, hadits ini menjelaskan tentang fadhilah yang akan diperoleh orang yang berjihad di jalan Allah. Bahwa, kedua kaki seorang mujahid yang berlumuran debu ketika ia berjalan menuju medan peperangan itu tidak akan disentuh oleh api Neraka.
Ibnu Hajar menyebutkan, tidak disentuhnya telapak kaki itu oleh Neraka karena faktor debu yang menempel pada telapak kaki itu. Hal ini adalah isyarat yang menunjukkan agungnya segala urusan yang menyangkut fii sabiilillah. Apabila hanya dengan debu yang menempel pada telapak kaki saja sudah tidak dijilat oleh Neraka, bagaimana dengan orang yang mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya secara maksimal dalam berjihad fii sabiilillah?!.
Muhammad ‘Allan ash-Shiddiqi menyebutkan dalam syarh yang ditulisnya tentang hadits ini, hadits ini adalah kabar gembira buat seorang mujahid, yaitu dia terbebas dari api Neraka. Apabila makna fii sabiilillah ini dibawa kepada maknanya yang umum, berarti hal ini adalah tambahan kabar gembira, (Dalil al-Falihin li Turuq Riyaadh ash-Shalihin, jld. IV, hal.109). Karena makna umum itu mencakup segala kegiatan dan aktivitas yang tidak terbatas hanya pada jihad saja. Jadi, semua jenis ketaatan dan ibadah yang disebutkan oleh Allah dan Rasulullah bagian dari fii sabiilillah juga akan mendapatkan fadhilah seperti ini.
Dalam sebuah riwayat cukup panjang yang berasal dari Mu’adz bin Jabal, yang diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi, dishahihkan oleh an-Nasa’I dan Ibnu Majah: (Tidaklah sebuah telapak kaki itu berdebu karena suatu urusan yang bertujuan untuk mendapatkan derajat ukhrowi setelah shalat wajib, melainkan serupa dengan jihad fii sabiilillah). Juga diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Bazzar hadits yang serupa, seperti yang tercantum dalam at-Targhib tulisan al-Mundziri. Wallau a’lam. (Ibrahim)
Reference: Fathul Bari dan Dalil al-Falihin.





0 komentar:

 
.