Rabu, 06 Februari 2008

Tuntutan Jihad Melalui Tandzim Yang Terpimpin 2


Pada Zaman ini kita sedang krisis amal jama’i. alangkah susah menemukan sosok-sosok seperti mereka yang serius dan tenang tanpa banyak bicara, yang berjalan terus secara terarah, tidak goyah dan tidak mudah terpengaruh. Kelompok yang penuh barokah ini terprogram dengan proyeknya. Selama beberapa tahun mereka tidak melenceng dari tujuan yang telah digariskan. Mereka berhati-hati dan mengekang lidah dari banyak bicara sembari terus berlatih menerbangkan pesawat dan hal-hal lain yang dibutuhkan untuk operasi. Walaupun kondisi dunia terus berubah, mereka terus melakukan latihan hingga tercapainya tujuan mereka. Semua ini adalah hal yang langka dan jarang ditemui dalam amal jama’i hari ini. Hal-hal demikian wajib diperhatikan oleh para mujahidin dan orang-orang yang bekerja untuk kemuliaan Dien ini.” (Abu Muhammad Al-Maqdisi, Waqafat Ma’a Tsamrati Al-Jihad.)

Demikianlah sedikit cuplikan dari ucapan Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi tentang kondisi jihad hari ini. Dan pada makalah utama edisi kali ini kembali akan dibahas tentang Tuntutan Jihad Melalui Tanzhim Yang Terpimpin.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا كَانَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

Artinya: Dari Abu Hurairah t bahwasanya Rasulullah r bersabda, “Bila kalian sedang bertiga dalam bepergian maka hendaklah kalian mengangkat salah seorang sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud no 2242)

Hadits ini merupakan landasan tentang disyari’atkannya mengangkat seorang pemimpin pada setiap kondisi sedang bertiga atau lebih. Karena dengan demikian akan menghindarkan dari perselisihan yang berakibat pada kebinasaan. Sebaliknya bila tidak ada yang menjadi pemimpin maka setiap masing-masing bertindak berdasarkan keinginan hawa nafsunya hingga akhirnya berakibat pada kehancuran. Dengan adanya kepemimpinan perselisihan dapat ditekan dan keputusan dapat disatukan. Maka bila dalam urusan safar saja yang terdiri dari tiga orang disyari’atkan untuk diorganisir secara terpimpin tentunya bagi sekelompok orang yang berdiam dalam satu desa atau kota untuk melawan kezhaliman dan meleraikan pertikaian lebih mendesak dan lebih membutuhkan diorganisir secara terpimpin. Dan hadits ini juga sebagai landasan bagi yang mengatakan bahwa bagi kaum muslimin wajib untuk mengangkat pemimpin yang dapat mengatur dan memerintah urusan mereka. (Abdul Qadir bin Abdul Aziz, Al-Umdah Fi I’dadil ‘Uddah).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Wajib untuk diketahui bahwa kepemimpinan untuk mengurus urusan ummat merupakan kewajiban Din yang paling besar, bahkan Din dan dunia ini tidak akan pernah tegak kecuali dengannya.” (Majmu’ Fatawa).

Oleh karena itu, setiap kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali harus dengan berjamaah atau terorganisasi secara terpimpin, maka hukum berjamaah dibawah komando seorang pemimpin tersebut menjadi sebuah kewajiban. Sebagaimana kaidah usul menyebutkan;

لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبِ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبِ.

“Sebuah kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan suatu hal maka hal tersebut menjadi wajib.”

Pada kenyataannya, iqamatuddin hari ini menghadapi kekuatan musuh yang terorganisir secara internasional dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi yang terus berkembang. Tak hanya serangan militer yang secara nyata dilancarkan, namun juga serangan ide (pemikiran) yang ternyata justru tak pernah disadari oleh umat Islam. Maka menolak makar-makar musuh dengan peperangan yang dapat melumpuhkan mereka dan melindungi kehormatan kaum muslimin tidak akan membuahkan hasil yang maksimal kecuali dengan adanya sebuah jamaah yang dipimpin oleh seorang imam. Artinya, kita memang menghajatkan sebuah organisasi yang terpimpin rapi dengan program yang jelas dan terarah.

Hal ini telah menjadi kesepakatan kaum muslimin, sebagaimana kesepakatannya para sahabat untuk mengangkat Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai khalifah setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menggantikan peran beliau dalam iqamatuddin, mengatur urusan kaum muslimin dan menjadikan kalimat Allah paling tinggi, sebaliknya kalimat orang kafir menjadi hina. Lalu kaum muslimin dari satu generasi ke generasi berikutnya hidup di bawah sebuah kepemimpinan seorang khalifah. Allah Ta’ala berfirman :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”. [An-Nisa’ ;58]

Al Amanah dalam ayat ini yaitu tanggung jawab kepemimpinan. Maka Nabi SAW bersabda :

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّة

“Barangsiapa yang mati dan dilehernya tidak ada baiat maka dia mati menyerupai mati jahiliyah”. (HR Muslim 3441).

Dalam hadits yang lain Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;

Barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal, maka seakan-akan ia melepaskan ikatan Islam dari lehernya.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِي بِهِنَّ بِالْجَمَاعَةِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَالْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ الْجَمَاعَةِ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ إِلَّا أَنْ يَرْجِعَ

“…dan aku memerintahkan kalian dengan lima perkara yang Allah telah perintahkan kepadaku dengannya; jama’ah, mendengar, taat, hijrah dan jihad fi sabilillah. Maka sesungguhnya siapa yang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal niscaya ia telah melepaskan Islam dari lehernya, kecuali bila ia kembali”. (HR. Ahmad 16542, dan Albani mengatakan hadits ini isnadnya shahih tanpa diragukan).

Al Badr Al Aini dalam mengomentari hadits-hadits ini mengatakan bahwa seperti matinya ahli jahiliyah dalam hal mereka tidak memiliki imam yang ditaati dan bukan yang dimaksud adalah mati dalam kekafiran, melainkan mati dalam kemaksiatan. (‘Umdatul Qari’ juz 24 hal 187).

Islam –dalam banyak hal- memberikan tuntunan untuk melaksanakan ibadah secara jama’i, karena hal tersebut lebih banyak mendatangkan barokah dan pahala daripada pelaksanaan secara fardi (individu). Tak hanya sholat, namun melebar hingga seluruh bentuk ibadah dan muamalat. Bahkan dalam masalah furu’ seperti makan, bepergian dan sebagainya, perintah untuk melakukannya secara jama’i sangat ditekankan. Lantas bagaimana dalam hal menegakkan Islam secara kaffah, upaya dalam membela, memuliakan dan menghilangkan keasingannya, sedangkan kerusakan telah menggenangi bumi dan kebanyakan manusia telah menyimpang dari dien yang lurus?

Iqamatuddin atau menegakkan kemuliaan Dien dengan Jihad tentunya, adalah satu amalan yang kesempurnaannya hanya akan tercapai bila dilakukan secara bersama-sama atau dengan amal jama’i. Apalagi bila melihat dari target iqamatuddin itu sendiri yang menjadi kebutuhan umat Islam hari ini yaitu kekuasaan di muka bumi, kemenangan dan balasan terhadap serangan musuh maka adanya satu tanzhim yang terorganisir dengan baik adalah sebuah kemestian yang harus diwujudkan oleh kaum muslimin.

Syaikh Abu Muhammad al-Maqdisi menyebutkan bahwa sebuah amal jama’i akan dapat melaksanakan rancangan-rancangan programnya dengan baik dalam rangka untuk meraih target sebuah iqamatuddin bila telah memenuhi dua tuntutan berikut:

Pertama: Kitman (menjaga rahasia)

Kedua: Aktivitas berkesinambungan dengan target tertentu yang terus menerus.

Demikianlah yang harus dipenuhi oleh sebuah amal jama’i. Dan ini merupakan tabiat khusus yang berbeda dengan tabiat bila itu dilakukan oleh perorangan.

Sebagaimana yang telah disinggung dalam makalah utama sebelum ini bahwa berjihad secara perorangan juga disyari’atkan dan itu adalah sebuah amalan terbaik yang pelakunya juga termasuk penolong Dien. Namun untuk meraih target yang strategis bagi kemenangan kaum muslimin dan pukulan terhadap musuh, berjihad secara berjama’ah dengan manhaj yang jelas serta menggunakan skala prioritas sesuai tipu daya musuh dan level peperangan mereka juga pimpinan yang menguasai ilmu syar’i dan waqi’ yang mendalam lagi terperinci sehingga ia mampu memandang realita dengan pandangan yang tajam, jeli dan jauh, itu lebih baik, lebih utama dan lebih sempurna. Wallahu a’lam.

Refrensi:

1- Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

2- Sunan Abi Dawud

3- Al-'Umdah Fi I'dadil 'Uddah, Syaikh Abdul Qadir Abdul Aziz

4- Waqafaat Ma'a Tsamratil Jihaad, Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi

5- Harokah Jihad Ibnu Taimiyah, Abdurrohman Bin Abdul Kholiq.

0 komentar:

 
.