1. Mendakwahi orang-orang kafir supaya memeluk Dienul Islam sebelum mulai memerangi mereka, disertai dengan penjelasan tentang hakikat Dienul Islam, agar mereka mengetahui apa tujuan kaum Muslimin memerangi mereka.
Ini adalah tuntutan yang pertama, dan jika mereka menolak masuk Islam, mereka tidak akan dipaksa meninggalkan Dien mereka dan dipaksa masuk Islam, tetapi diminta untuk memenuhi tuntutan yang lain, yakni membayar jizyah kepada kaum Muslimin, agar supaya mereka di bawah perlindungan kaum Muslimin, di bawah kekuasaan mereka serta di dalam penjagaan mereka seperti orang-orang Muslim yang lain.
Itu adalah tuntutan yang kedua, dan jika mereka tetap menolak, maka mereka akan diperangi dan diserang di negeri mereka sampai tunduk kepada hukum Islam dan kaum Muslimin.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“….Tidak ada paksaan untuk (memasuki) Dien (Islam); sesungguhnya telah jelas yang benar dari jalan yang sesat….” (Al-Baqarah(2): 256)
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk….” (At-Taubah(9): 29).
2. Memenuhi janji dan kesepakatan yang telah dijalin antara kaum Muslimin dan kaum kufar, serta tidak melanggar dan tidak berlaku khianat.
3. Melindungi darah manusia kecuali dengan alasan yang benar, melindungi nyawa orang-orang lemah dari pihak musuh, serta tidak menyiksa mereka. Golongan orang-orang lemah yang dimaksud seperti kaum wanita, anak-anak, kaum lelaki yang telah tua renta, orang-orang yang cacat fisik, rahib-rahib dan biarawan-biarawan yang mengurung diri dalam tempat peribadatan mereka, serta golongan orang-orang lemah lain yang seperti mereka.
Islam melarang membunuh mereka dalam peperangan, selama mereka tidak turut andil di dalamnya dengan senjata, atau bantuan fisik, atau pendapat, atau pengarahan, atau pengobaran semangat atau taktik.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu diperintahkan oleh Rabb kalian kepada kalian supaya kalian memahami(nya)” (Al-An’am(6): 151).
Ibnu ‘Umar ra meriwayatkan bahwasanya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam melarang (kaum Muslimin) membunuh wanita dan anak-anak.
Diriwayatkan pula dari Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, bahwasanya beliau pernah bersabda:
“Berangkatlah kalian dengan menyebut nama Allah, jangan membunuh lelaki yang telah tua renta, atau anak kecil atau wanita.”
Dan dari Ibnu Abbas ra, dia berkata:
“Nabi pernah melewati mayat seorang perempuan yang mati terbunuh pada perang Khandaq. Lalu beliau bertanya, "Siapa yang telah membunuh perempuan ini?” “Saya, ya Rasulullah” sahut seseorang. “Kenapa?” Tanya beliau. Orang tersebut menjawab, ”Dia berusaha merebut gagang pedang saya.” Mendengar jawabannya, beliau diam.
Dan diriwayatkan pula bahwa Nabi saw pernah berdiri di depan mayat perempuan yang terbunuh, lalu beliau berkata,”Kenapa gerangan dia dibunuh, sedangkan dia tidak ikut berperang?.”
4. Larangan mencincang korban yang telah tewas
Ibnu Ishaq menuturkan, Rasulullah keluar berperang pada perang Uhud, menurut riwayat yang sampai kepadaku, beliau mencari-cari Hamzah bin Abdul Muthalib, dan akhirnya beliau menemukan jasadnya di tengah lembah, perutnya telah dibelah, dan diambil hatinya serta disayat-sayat hingga berurai isinya, hidung dan telinganya dipotong.
Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair menceritakan kepadaku, bahwa ketika Rasulullah melihat perbuatan yang sangat sadis itu, maka berkatalah beliau, “Kalaulah tidak mengingatakan kesedihan Shafiyah dan khawatir akan menjadi sunnah (tradisi yang jadi ikutan) sepeninggalku, tentu aku akan membiarkannya sehingga berpindah ke perut binatang buas dan burung pemakan bangkai. Dan sekiranya Allah memenangkanku atas kaum Quraisy di satu peperangan, pasti aku akan mencincang 30 orang diantara mereka.”
Melihat kesedihan yang melanda Rasulullah atas orang-orang yang melakukan perbuatan biadab terhadap jasad pamannya itu, maka berkatalah orang-orang Muslim, ”Demi Allah, sekiranya Allah memenangkan kami atas mereka pada suatu hari kelak, pasti kami akan mencincang-cincang mereka sedemikian rupa sadisnya, yang mana tak seorang Arab pun pernah melakukannya.”
Berkata Ibnu Hisyam, “Ketika Rasulullah berdiri di depan Hamzah, maka berkatalah beliau, “Tak pernah sekalipun aku tertimpa musibah seperti ini, dan belum pernah aku merasakan kemarahan yang sedemikian hebatnya melebihi kemarahanku saat ini.”
Kemudian beliau berkata, ”Lalu Jibril datang kepadaku dan memberitahukan bahwa Hamzah bin Abdul Muthalib telah tertulis di kalangan penghuni langit sebagai singa Allah dan singa Rasul-Nya.”
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, hamzah dan Abu Salamah bin Abdul Asad merupakan saudara sesusu. Mereka disusui oleh Maulah (budak perempuan) Abu Lahab --dia adalah Tsuwaibah—
Ibnu Ishaq berkata, ”Telah menceritakan kepadaku Hamid At-Thawil dari Al Hasan, dari Samurah bin Jundab, dia berkata, “Tiadalah sama sekali Rasulullah berdiri di satu tempat kemudian meninggalkannya sehingga dia memerintahkan kepada kami bersedekah dan melarang kami mencincang --mayat musuh“).
Kemudian dalam ulasan yang bertalian dengan persoalan tersebut dikemukakan: (Jika ada yang mengatakan, “Rasulullah pernah memotong-motong anggota badan orang-orang ‘Urani –yakni golongan Muharib--, beliau memotong tangan-tangan mereka dan mencongkel mata mereka serta mimbiarkan mereka mati kehausan”, maka kami jawab:
Pertama: Beliau melakukan hal tersebut adalah sebagai hukum qishash bagi mereka, oleh karena mereka telah memotong tangan dan kaki para penggembala serta mencongkel mata mereka. Kisah ini diriwayatkan dalam hadits Anas.
Kedua: Peristiwa itu adalah sebelum datang pengharaman mencincang.
Jika yang mengatakan, “Sesungguhnya beliau membiarkan mereka, minta minum tetapi tidak diberi minum, sampai mereka mati kehausan”, maka kami menjawab: “Beliau membuat mereka kehausan sebab mereka telah membuat haus keluarga Nabi pada malam tersebut. Diriwayatkan dalam hadits marfu’, bahwa tatkala sampai kepadanya kabar dibunuhnya para penggembala…. Maka beliau dan keluarganya tidak bisa minum susu pada malam itu.
Lalu beliau berdo’a: “Ya Allah, hauskanlah orang-orang yang telah membuat kehausan ahli bait Nabi-Mu”.
Riwayat ini terdapat pada Syarah Ibnu Baththal, dan dikeluarkan pula oleh An-Nawwi.
Tatkala turun ayat, “Wa in aqabtum fa’aaqibuu bimitsli maa ‘uuqibtumbihi… Sampai akhir”, maka berkatalah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, “Kami bersabar, dan tidak akan membalas)”.5)
Dan dari Buraidah, dia berkata: “Adalah Rasulullah apabila mengangkat seorang komandan bagi suatu pasukan atau sariyyah, maka beliau mewasiatinya secara khusus agar bertaqwa kepada Allah, dan agar berlaku baik kepada kaum Muslimin yang ikut bersamanya. Kemudian beliau berpesan kepadanya:
“Berperanglah kalian dengan menyebut nama Allah, di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah tapi jangan bertindak melampaui batas, jangan khianat, jangan mencincang dan jangan membunuh anak-anak”.
Dari Abdullah bin Yazid Al-Anshar dia berkata: “Rasulullah melarang menjarah dan mencincang”.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Manusia yang paling santun dalam membunuh (musuh) adalah kaum beriman”.
5. Larangan Merusak
Seperti membakar, merobohkan (bangunan), menebang pepohonan, membantai binatang ternak bukan untuk dimakan, kecuali jika komandan pasukan melihat dalam perkara tersebut terdapat maslahat yang besar, seperti melemahkan hati musuh, menjatuhkan moral mereka, membuat mereka putus asa dan hina…. Maka sesungguhnya yang demikian itu dibolehkan.
Allah SWT berfirman:
“Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik”. (Al-Hasyr (59): 5)
6. Larangan Ghulul
Ghulul adalah mengambil sesuatu dari harta rampasan perang atau menilap sesuatu daripadanya tanpa izin Imam, sebelum dibagikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Perbuatan ini termasuk dosa besar.
Telah meriwayatkan bahwa kaum muslimin kehilangan selimut beludru merah pada perang Badar, maka diantara shahabat ada yang berkata, “barangkali Rasulullah telah mengambilnya”. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat:
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”. (Ali Imran (3): 161)
Ibnu Abbas ra berkata,
“Tidak selayaknya bagi seorang Nabi berlaku khianat dan mengkhususkan sesuatu untuk dirinya”. Dan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata, (suatu hari Rasulullah berdiri di tengah-tengah kami, lalu beliau menyebut tentang ghulul. Beliau memandangnya besar dan memandang besar urusannya.
Lalu beliau berkata, “Kelak aku benar-benar akan menemui salah seorang di antara kalian pada hari kiamat, di atas tengkuknya ada ontanya yang sedang melenguh. Dia berkata memelas, “Wahai Rasulullah, tolonglah aku”. Lalu kujawab, “Aku tidak kuasa sedikitpun untuk menolongmu dari siksa Allah. Dulu telah aku sampaikan kepadamu”.
“Kelak aku benar-benar akan menemui salah seorang di antara kalian pada hari kiamat, di atas tengkuknya ada kambing yang sedang mengembik. Dia berkata memelas, “Wahai Rasulullah, tolonglah aku”. Lalu kujawab, “Aku tidak kuasa sedikitpun untuk menolongmu dari siksa Allah. Dulu telah aku sampaikan kepadamu”.
“Kelak aku benar-benar akan menemui salah seorang di antara kalian pada hari kiamat, di atas tengkuknya ada jiwa (orang) yang menjerit. Dia berkata memelas, “Wahai Rasulullah, tolonglah aku”. Lalu kujawab, “Aku tidak kuasa sedikitpun untuk menolongmu dari siksa Allah. Dulu telah aku sampaikan kepadamu”.
“Kelak aku benar-benar akan menemui salah seorang di antara kalian pada hari kiamat, di atas tengkuknya ada lembaran kain yang bergerai-gerai. Dia berkata memelas, “Wahai Rasulullah, tolonglah aku”. Lalu kujawab, “Aku tidak kuasa sedikitpun untuk menolongmu dari siksa Allah. Dulu telah aku sampaikan kepadamu”.
“Kelak aku benar-benar akan menemui salah seorang di antara kalian pada hari kiamat, di atas tengkuknya emas dan perak. Dia berkata memelas, “Wahai Rasulullah, tolonglah aku”. Lalu kujawab, “Aku tidak kuasa sedikitpun untuk menolongmu dari siksa Allah. Dulu telah aku sampaikan kepadamu”.
Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash, dia berkata, “Ada seorang laki-laki bernama Karkaran, yang menjaga barang-barang bawaan milik Rasulullah. Orang tersebut mati, namun Rasulullah mengatakan bahwa dia masuk naar. Maka orang-orang pun pergi untuk menyelidiki perihalnya. Ternyata mereka menemukan mantel (jubah) yang telah diambil sebelum harta rampasan perang dibagi”.
7. Memberikan Perlindungan kepada Musta’jir (orang yang minta perlindungan) dan Utusan
Siapa dari pihak musuh yang minta keamanan atas keselamatan nyawanya dari pembunuhan, untuk mendengarkan Kalamullah serta untuk mengetahui syari’at-syari’at-Nya, maka orang tersebut harus diberi keamanan, kemudian dikembalikan ke tempat yang aman atau ke tempat tinggal kaumnya, berdasarkan firman Allah SWT:
“Dan jika seseorang dari orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar Kalamullah (firman Allah), kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka adalah kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At-Taubah (9): 6)
Dalam Sirah Nabawiyah disebutkan, tatkala dua utusan Musailamah Al-Kadzab datang membawa surat Musailamah kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, maka beliau bertanya kepada mereka setelah membacanya, “Apa yang kalian berdua katakan?”
Keduanya menjawab: “Kami mengatakan yang ia (Musailamah) katakan”. Lalu Nabi shalallahu 'alaihi wasallam berkata, “Ketahuilah, demi Allah, andaikata bukan lantaran aturan “Seorang utusan tidak boleh dibunuh”, pasti aku akan memenggal leher kalian berdua”.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang minta perlindungan kepada kalian dengan menyebut nama Allah, maka berikan perlindungan kepadanya, dan barangsiapa yang minta kepada kalian dengan menyebut wajah Allah, maka berilah dia”.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang minta perlindungan kepada kalian dengan menyebut nama Allah, maka berikan perlindungan kepadanya. Barangsiapa minta kepada kalian dengan menyebut nama Allah, maka berilah dia. Barangsiapa yang mengundang kalian, maka penuhilah undangannya. Barangsiapa yang berbuat sesuatu kebaikan kepada kalian, maka berikan kepadanya hadiah sebagai balasan, maka jika kalian tidak mendapatkan sesuatu hadiah untuk membalasnya, maka berdo’alah untuknya sampai kalian merasa bahwa kalian telah memberikan hadiah kepadanya sebagai balasan”.
8. Berbuat Baik kepada Tawanan
Tawanan perang terdiri dari tiga macam:
a. Kaum wanita dan anak-anak dan orang-orang yang sekedudukan hukum dengan mereka –sebagaimana telah diutarakan—yang tidak boleh dibunuh. Mereka menjadi budak bagi kaum Muslimin, yang harus diperlakukan secara baik; atau Imam membebaskan mereka, atau mengambil dari mereka tebusan berupa harta atau menukarnya dengan tawanan Muslim atau melepaskan mereka, menurut sisi maslahat yang dilihatnya.
b. Kaum laki-laki dari golongan Ahli Kitab dan Majusi. Dalam hal ini Imam boleh memilih dari empat alternatif yang ada: membunuhnya, atau membebaskannya cuma-cuma, atau meminta tebusan sebagai syarat pembebasannya, atau menjadikannya sebagai budak.
c. Para penyembah berhala dari golongan kaum musyrikin yang lain. Dalam hal ini Imam bebas memilih tiga alternatif yang ada: membunuhnya, atau membebaskannya cuma-cuma, atau meminta tebusan.
Keterangan rinci mengenai persoalan ini dapat diruju’ dalam kitab-kitab ahli ilmu pada empat mazhab yang ada.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti”. (QS. Muhammad (47): 4)
Yang jelas, seorang tawanan harus diperlakukan secara baik, dipergauli dengan ramah, santun dan bijak, dengan harapan ia mau masuk Islam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insan (76): 8-9)
Berkata Ibnu Ishaq, “Telah mengabarkan kepadaku Nabih bin Wahab, seseorang dari Bani Abdiddar, bahwasanya setelah Rasulullah mendatangi para tawanan –pada perang Badar-- lalu beliau serahkan mereka secara terpisah kepada para shahabatnya seraya berpesan, “Perlakukan mereka dengan baik!”. Adalah shahabat (yang diberi amanat tersebut) mengutamakan makan mereka –para tawanan itu— atas diri mereka sendiri dengan makanan yang lebih enak ketika mereka makan.
Termasuk di antara perlakuan baik kepada tawanan juga adalah tidak memisahkan antara ibu dan anaknya, bapak dengan anaknya.
Nabi melarang memisahkan dalam tawanan antara ibu dan anaknya. Beliau saw bersabda:
“Barangsiapa yang memisahkan antara ibu dan anaknya, maka kelak Allah akan memisahkan antara dia dengan orang-orang yang dicintainya pada hari kiamat”.18)
Adalah beliau shalallahu 'alaihi wasallam pernah mendapatkan tawanan, lalu beliau memberikan semuanya kepada ahli baitnya, karena tidak suka memisah-misahkan antara mereka”.19)
9. Adil terhadap Ahli Dzimmah dan Berlaku Santun kepada Mereka
Ahlu dzimmah, mereka adalah orang-orang kafir yang menegakkan isi perjanjian yang mereka adakan dengan kaum Muslimin, mereka mempunyai hak keamanan atas nyawa, harta, kehormatan dan agama mereka; serta tidak boleh mendapat gangguan apapun, oleh karena mereka berada dalam jaminan dan perlindungan kaum Muslimin sebagai ganti dari pembayaran jizyah mereka serta iltizam mereka terhadap hukum-hukum Islam yang dikenakan atas mereka dalam bentuk pelaksanaan hak atau meninggalkan hal yang haram…. Mereka berhak mengembalikan dalam perselisihan yang terjadi antara mereka kepada hukum-hukum syari’at mereka memuat aturan dalam perkara-perkara yang bersifat pribadi; akan tetapi jika tidak; maka mereka harus mengembalikannya kepada hukum Islam dan syari’at-Nya seperti kaum Muslimin yang lain.
Seorang dzimmi tidak wajib menetapi seluruh hukum-hukum Islam, akan tetapi yang wajib bagi mereka untuk menetapinya hanyalah perkara-perkara yang tidak bertentangan dengan keyakinan diennya. Dia dihukumi dengan hukum-hukum Islam dalam soal pertanggungjawaban jiwa, harta dan kehormatan; ditegakkan hukum hudud atas mereka dalam perkara yang mereka yakini keharamannya seperti mencuri, tetapi tidak dalam perkara yang mereka yakini kehalalannya, seperti minum khamr.20)
Sebagaimana mereka juga diwajibkan untuk tidak melakukan mu’amalah dengan mereka melalui cara-cara yang rusak dan terlarang dalam syari’at yang mengakibatkan kepada keburukan, kerusakan dan bahaya terhadap masyarakat, meskipun mereka telah terbiasa dengan mu’amalah seperti itu sebelumnya, seperti riba, judi, rumah-rumah bordil.
Sebagaimana juga diharuskan untuk menjaga rasa malu, kesopanan, menutup aurat dan tidak tabarruj (mempertontonkan hiasan dan kecantikan kepada orang lain).
Semuanya itu adalah untuk menjaga keselamatan masyarakat dan kehormatannya.
Mereka juga diberi kesempatan untuk memperhatikan dan mengembangkan aspek-aspek kehidupan dunia mereka.
Allah Azza Wa jalla berfirman:
“Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka, jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”. (Al-Maidah (5): 42)
Allah Azza Wa jalla berfirman:
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”. (Al-Maidah (5): 48)
Mereka tidak mempunyai hak untuk turut campur atau ikut andil bersama kaum Muslimin di dalam menjalankan kemudi kekuasaan ataupun dalam bidang kepemimpinan dan pemerintahan, sebab mereka tidak mempunyai hak kepemimpinan terhadap kaum Muslimin, bahkan kaum Musliminlah yang justru menjadi pemimpin mereka.
Allah Azza Wa jalla berfirman:
“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. (An-Nisa’: 141)
Allah Azza Wa jalla berfirman:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Al-Mumtahanah (60): 8)
Dari Asma’ bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, dia berkata, “Ibuku datang (mengunjungiku) sedangkan ia masih musyrik, pada masa kaum Quraisy melakukan perjanjian. Maka aku datang menemui Nabi dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku boleh memperhubunginya?”. Beliau menjawab, “Ya, silakan perhubungilah ibumu”. 21)
Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang menyakiti dzimmi, maka aku adalah musuhnya; dan barangsiapa yang aku jadi musuhnya, maka akan aku musuhi dia pada hari kiamat”.22)
Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang memberi keamanan seseorang atas keselamatan darah (nyawa)nya, lalu dia membunuhnya, maka sesungguhnya aku berlepas diri dari si pembunuh, meskipun yang terbunuh adalah seorang kafir”. 23)
Dalam risalah Khalid bin Al-Walid disebutkan, “…aku tetapkan kepada mereka –yakni ahlu dzimmah—siapapun, laki-laki tua yang telah lemah untuk bekerja, atau terkena suatu musibah atau semula kaya lalu menjadi miskin, sehingga kaum yang seagama dengannya memberikan sedekah kepadanya, maka aku lepaskan tanggungan jizyahnya, dan diberi nafkah dari Baitul Mal Muslimin serta keluarganya selama dia menetap di Darul Hijrah dan Darul Islam. Akan tetapi jika mereka keluar dari negeri yang bukan Darul Hijrah dan Darul Islam, maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslimin untuk memberikan nafkah kepada keluarga mereka…”24)
Golongan ahlu dzimmah hidup berabad-abad dalam naungan Daulah Islamiyah bersama kaum Muslimin dalam keadaan aman jiwa, kehormatan, Dien, dan mu’amalah mereka; mereka menikmati kehidupan yang lapang dan tarikh (sejarah) belum pernah mencatat bahwa mereka menghadapi kezhaliman, penindasan atau gangguan dari kaum Muslimin.
Keadaan mereka tidak sebagaimana yang menimpa sebagaian kaum Muslimin di negeri-negeri Islam yang dirampas oleh orang-orang kafir dan diperintah oleh mereka. Mereka menimpakan kepada kaum Muslimin berbagai macam perlakuan yang sangat buruk, baik penindasan, penyiksaan, pembunuhan maupun pengusiran.
Sebagaimana yang pernah diperbuat oleh kaum Nasrani ketika menguasai negeri Andalusia dan merampasnya dari tangan kaum Muslimin, yang mana mereka memaksa kaum Muslimin untuk meninggalkan Dien mereka serta memeluk agama nasrani, dan siapa yang menolak akan dibakar di tungku-tungku pembuatan roti…. Mahkamah-mahkamah pemeriksaan yang diadakan orang-orang Nasrani di negeri Andalusia tidaklah akan hilang dari ingatan sejarah dan tidak akan terlupakan.
Demikian pula pembantaian-pembantaian massal dan individu yang dilakukan oleh bangsa Rusia komunis terhadap kaum Muslimin di negeri-negeri Islam yang telah mereka rampas dan mereka kuasai seperti Samarqand, Bukhara, Azerbaijan, Turkistan, dan Kurdistan serta negeri-negeri Islam lain, telah menghilangkan nyawa berpuluh-puluh juta kaum Muslimin. Mereka membakar mushaf-mushaf Al-Qur’an dan kitab-kitab Islam serta merubah masjid-masjid yang menjadi tempat ibadah dan dikumandangkan dari tempat adzannya suara takbir, menjadi kandang-kandang ternak dan hewan. Dan mereka juga memaksa manusia untuk mengikuti doktrin atheisme dan untuk meyakini bahwa agama adalah opium yang meracuni pikiran rakyat.
Demikian pula negeri Palestina, tatkala bangsa Yahudi Zionis penebar angkara murka, merampasnya dari tangan kaum Muslmin. Mereka membunuh kaum Muslimin dan mengusir mereka, serta menjarah harta milik mereka dan tanah mereka, kemudian merubahnya menjadi koloni kaum zionis. Adapun kaum Muslimin yang masih tinggal di sana mereka perintah dengan tangan besi.
Serta negeri-negeri Islam lain yang diperintah oleh penguasa-penguasa kafir, dimana kaum Muslimin yang hidup di negeri tersebut merasakan berbagai macam bentuk penyiksaan, pembunuhan dan pengusiran. Dosa mereka hanyalah karena mereka itu orang-orang Muslim. Benarlah Allah Yang Maha Agung yang berfirman:
“Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin), padahal mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (At-Taubah (9): 8)
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang yang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (Al-Buruj (85): 8)
10. Berlaku keras dalam perang dan belas kasih di waktu damai
Berlaku keras dalam perang melawan orang-orang kafir ketika mereka diperangi, dan bersikap adil serta lembut terhadap mereka di waktu damai.
Sebab dalam kondisi berperang, haruslah berlaku keras, kejam dan bengis untuk menggentarkan dan menyiutkan nyali musuh, untuk menakut-nakuti mereka, mencerai-beraikan mereka, dan merusak moral mereka, sehingga mereka dapat dikalahkan… Serta membuat gentar siapa saja yang terbetik dalam hatinya keinginan untuk memerangi kaum Muslimin. Adapun dalam keadaan damai, dalam keadaan orang-orang kafir berdamai dengan kaum Muslimin, maka sudah selayaknya untuk berlaku adil, lembut dan baik kepada mereka, berharap akan ke-Islaman mereka dan mengangankan keimanan mereka.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Jika kamu menemui mereka dalam peperangan, maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran”. (Al-Anfal (8): 57)
Berkata Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Bashri, Adh-Dhahhak, As-Suddi, Atho’ Al-Khurasani, dan Ibnu ‘Uyainah:
“Keraslah dalam menghukum mereka serta banyak-banyaklah membunuh mereka, agar musuh selain mereka dari kalangan Arab maupun yang lain menjadi takut dan gentar, dan agar hal tersebut menjadi pelajaran bagi mereka”
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kalian telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kalian boleh membebaskan mereka atau tebusan sampai perang berhenti”. (QS. Muhammad (47): 4)
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”. (At-Tahrim (66): 9)
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Aku diberi sesuatu yang mana hal tersebut tidak diberikan kepada salah seorang daripada nabi-nabi sebelumku; aku dimenangkan dengan rasa takut (yang menghinggapi musuh); aku diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi; aku diberi nama Ahmad; dijadikan debu itu suci bagiku; dan umatku dijadikan sebaik-baik umat”.26)
Lantas di manakah keteladanan, akhlaq dan adab-adab jihad Islam dalam perang-perang yang terjadi sekarang ini? Bahkan yang ada di dalamnya hanyalah pengkhianatan, permusuhan, kejahatan, pelanggaran susila, keganasan, kerendahan moral yang mencoreng nilai-nilai kemanusiaan, yang mana hal tersebut sangat tidak pantas dikerjakan bahkan terhadap hewan sekalipun.
Peperangan-peperangan itu tidak terikat sama sekali dengan sesuatu (aturan moral), tidak memperhitungkan sesuatu apapun, dan menghancurkan segala sesuatu.
(IsA)
0 komentar:
Posting Komentar